Banyak orang menanti kehidupan pasca pandemi dengan sungguh-sungguh antusias. Mereka sungguh-sungguh mengharapkan pandemi untuk lantas usai, sehingga dapat berada di pelukan orang-orang cinta, menikmati beri sayang kembali. Terbebas dari kekhawatiran dan ketakutan dari kekejaman virus Covid-19. Menjalani kehidupan seperti sedia kala, tepatnya sebagaimana sebelum pandemi menyerang.
Terdengar positif memang di kuping beberapa besar orang, malahan terlampau total sepantasnya berada di surga dunia. Karena, apa yang salah dengan kehidupan pasca pandemi, bukankah slot kakek tua hampir segala orang menginginkannya? Kehidupan dengan terbukanya banyak lapangan profesi, ruas-ruas jalan di ibu kota dipadati kembali dengan ribuan kendaraan bermotor, dan puluhan tongkrongan diwarnai dengan motivasi membara para buah hati muda.
Tetapi, tatkala mata batin terbuka dan memperhatikan sisi lain koin, terdapat sekelompok orang yang kurang sanggup merasai kenikmatan dari kehidupan pasca pandemi secara penuh segala. Sekelompok orang ini yakni mereka yang terpaksa menikmati akibat pandemi kepada keadaan fisiologis dan mental mereka. Tidak jarang, dua keadaan ini mengganggu produktivitas mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Yakni buah hati-buah hati autism spectrum disorder (ASD), sekelompok wong cilik dengan disabilitas perkembangan otak dan syaraf (neurologis). Disabilitas yang bersifat seumur hidup ini memberikan dampak besar kepada kesanggupan buah hati dalam berkomunikasi, bersosialisasi, bertindak, dan metode kerja sensor dalam menanggapi berita yang datang ke member tubuh. Adapun disabilitas ini berbasis pada spektrum, sehingga gejala pada satu buah hati ASD bakal berbeda dengan buah hati lainnya; ada yang butuh dampingan orang lain dalam melakukan hidupnya, ada pula yang sanggup hidup secara mandiri (Reyes, 2020).
Kesusahan buah hati ASD selama pandemi
Disabilitas perkembangan neurologis kepada buah hati ASD tak cuma berdampak kepada aspek sosial saja, tetapi lebih dari itu, berpengaruh besar pula kepada metode kerja tubuh buah hati ASD. Menginformasikannya Centers for Disease Control and Prevention, Pekan (6/6/2021), gejala buah hati ASD lainnya yakni mempunyai ketertarikan terbatas pada satu atau dua hal, tenaga konsentrasi tinggi, dan semestinya meniru rutinitas cocok jadwal kerja tubuh mereka secara ketat dan detil (Anonim, 2021). Sekiranya ketiga hal ini tak dipenuhi, buah hati ASD berpotensi besar mengalami autistic burnout (kelelahan mental dan tubuh terkhusus pada buah hati ASD), yang mana sewaktu-waktu dapat berujung pada meltdown (emosional meledak-ledak) atau shutdown (tubuh tak dapat bergerak sama sekali, meski otak mau berkegiatan secara produktif) (Dewerdt, 2020).
Telah menjadi pengetahuan awam bahwa pandemi Covid-19 merubah metode hidup beberapa besar orang, dari yang mulanya berprofesi dengan mobilitas tinggi menjadi kerja serba di rumah. Kemudian, terjadi transisi ke lembar kehidupan baru, di mana orang-orang dapat berprofesi atau menimba ilmu dengan porsi sebagian hari di rumah dan sebagian hari kemudian di lingkungan kantor atau sekolah. Belum bisa diterka betul, bagaimana kehidupan pasca pandemi; apakah benar-benar berkegiatan penuh di rumah, beraktivitas dengan memadukan di rumah – luar rumah, atau dapat bergerak bebas di lingkungan luar rumah tanpa kekangan apalagi undang-undang.
Masalahnya, transisi kehidupan pengaruh pandemi ini tak dapat diperhatikan dengan sebelah mata. Perlu dipahami dan dibahas secara mendalam dan komprehensif, terpenting kalau membahas dari sisi keadaan disabilitas pada buah hati-buah hati ASD. Mengutip anggapan Amorim dkk (2020), perubahan rutinitas pengaruh pandemi Covid-19, kerap kali menjadi tantangan yang signifikan bagi buah hati-buah hati dengan ASD. Akibat negatif dari transisi kehidupan pengaruh pandemi Covid-19 ini menyerang bermacam aspek kehidupan buah hati-buah hati ASD (Amorim, dkk., 2020).
Pertama, perubahan transisi kehidupan secara drastis, bagus itu dari sebelum pandemi, pandemi, ataupun pasca pandemi, mengakibatkan terjadinya peningkatan angka kecemasan dan stres pada diri buah hati ASD. Tingginya angka stres berpotensi meningkatkan perilaku agresi, risiko depresi, dan meltdown. Kedua, pelajaran virtual kurang sesuai untuk buah hati ASD, lantaran mereka tak dapat konsentrasi meniru kelas dengan seluruh gangguan sinar dan bunyi dari notebook. Walhasil, buah hati ASD mengalami stres selama meniru pelajaran, mereka ketinggalan di sekolah, sebagaimana penelitian oleh Kessler Foundation yang menceritakan bila 50% orang tua dari buah hati ASD melaporkan ketertinggalan buah hatinya dalam meniru pelajaran di sekolah. Terakhir, jumlah peluang buah hati ASD dalam bersosialisasi dengan sahabat-sahabat sepermainannya kian berkurang, lantaran buah hati ASD lebih terisolasi dan keder dalam bersosialisasi di keadaan pandemi seperti ini (Genova, 2021).
Prediksi etika kehidupan baru buah hati ASD dan solusinya
Sebelum berangkat lebih jauh membahas seputar etika kehidupan baru buah hati ASD, ada tepatnya membahas prediksi kehidupan baru pasca pandemi. Menginformasikannya Indonesia Baru, Pekan (6/6/2021), kehidupan pasca pandemi Covid-19 berdampak kepada sebagian hal, dua di antaranya yakni metode bersosialisasi dan berkomunikasi. Untuk metode bersosialisasi, mengutip anggapan Richard Sennett, seorang profesor studi perkotaan di Massachusetts Institute of Technology (MIT), metode bersosialisasi tiap orang pasca pandemi Covid-19 tak mewajibkan para pelakunya untuk berada dalam satu ruangan. Meski untuk metode berkomunikasi, orang-orang akan lebih banyak memakai video call sebagai media bersilaturahmi (Aulia, 2020).
Kehidupan pasca pandemi ini mempunyai sebagian implikasi kepada kehidupan buah hati-buah hati ASD. Sekiranya kehidupan pasca pandemi ini tak berubah secara drastis dan konsisten merumahkan penduduk di segala Indonesia, karenanya buah hati-buah hati ASD tak akan menerima situasi sulit yang berarti, lantaran neurologis mereka telah nyaman dengan rutinitas yang sama secara terus-menerus. Tetapi, sebaliknya, bila interpretasi dari kehidupan pasca pandemi ini yakni kehidupan dengan porsi kesibukan di dalam rumah – di luar rumah yang tak beimbang, karenanya buah hati ASD akan mengalami kesusahan dalam merubah kultur dan rutinitas mereka, sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan angka stres di diri buah hati-buah hati ASD (Oliver & Pavlopoulou, 2021).
Dengan demikian, perlu adanya kepastian kebijakan dari pemerintah sentra berkaitan kehidupan pasca pandemi yang bersifat konsisten, apakah work from home secara penuh, memadukan work from home – work from office, atau work from office secara penuh. Kepastian kebijakan ini berdampak besar kepada kehidupan buah hati-buah hati autis sesudah pandemi. Orang tua malahan dapat mempersiapkan jadwal rutin untuk keseharian buah hati-buah hati autis mereka secara matang.
Sebagai catatan, kebijakan pemerintah sentra mengenai status pembukaan sekolah atau pengaturan pergerakan masyarakat semestinya bersifat sungguh-sungguh inklusif, di mana pemakaiannya sungguh-sungguh melihat keperluan dan keadaan buah hati-buah hati autis. Pembuatan kebijakan bisa dijalankan dengan melibatkan penggiat autisme secara penuh segala, bukan menyertakan orang tua ataupun perwakilan dari institusi autis. Lantaran, penggiat autisme mempunyai otak dengan spektrum yang sama dengan buah hati-buah hati autis. Berbeda dengan orang dewasa neurotipikal (orang dengan syaraf serupa, bukan orang autis), yang mana memiliki metode berdaya upaya yang berbeda dengan buah hati-buah hati autis, tidak jarang mengakibatkan mengumandangkannya bunyi-bunyi bias atas keperluan dan keterbatasan buah hati-buah hati autis.
Berakhir menerima kepastian kebijakan dari pemerintah, langkah selanjutnya yakni menjalin kerja sama antara orang tua dengan sekolah, dengan mengerjakan peremajaan kepada undang-undang sekolah atas keadaan dan keadaan buah hati-buah slot garansi 100 hati autis. Untuk menempuh hal seperti ini, para orang tua ASD dapat saling berprofesi sama dan menyusun suatu golongan pembelaan yang mengungkapkan hak-hak buah hati ASD di ruang lingkup sekolah. Buat kesepakatan satu sama lain, bagaimana metode mengajar buah hati ASD dengan seluruh keterbatasan impas pandemi Covid-19 (Gilliland, 2021).
Buah-buah hati ASD juga perlu dibiasakan untuk meniru rutinitas yang dihasilkan oleh orang tua dengan kesepakatan bersama pihak sekolah. Adapun aktivitas sehari-hari buah hati autis melibatkan aktivitas-aktivitas utama mereka, seperti waktu meniru pelajaran di sekolah melewati daring, jadwal makan, mandi, olahraga, diet, dan lain sebagainya. Di samping itu, aktivitas sehari-hari juga disesuaikan dengan special interest mereka, sehingga mereka tak akan tertekan tatkala meniru rutinitas yang telah dibentuk oleh orang tua dan pihak sekolah.
Rutinitas yang dapat digunakan oleh orang tua di rumah yakni dengan memakai role play aktivitas sehari-hari buah hati autis sebelum kelahiran masa pandemi. Orang tua bisa mengawali dengan mendongeng buah hati-buah hati mereka secara rinci, ditambah pula dengan penunjukkan visual gambar yang menarik, agar buah hati-buah hati autis menerima ilustrasi kehidupan selama pandemi dan bagaimana pengaruhnya kepada rutinitas mereka. Orang tua bisa mengerjakan role play secara pelan-lahan. Ada pantasnya orang tua mendatangkan sahabat baru yang sepantaran dengan buah hati autis mereka, entah dari pihak saudara atau sahabat. Yang pasti, mereka dapat bersikap bagus dan memiliki special interest yang sama dengan buah hati autis. Sehingga, buah hati autis tak akan merasa gugup, atau depresi di dikala menjalani kehidupan pasca pandemi (Glumbic & Dordevic, n.d.).
Di langkah-langkah permulaan memakai rutinitas maupun role play, orang tua juga dapat lantas menjadwalkan waktu rutin buat ruang pembicaraan bersama buah hati autis mereka, membahas hal-hal mengenai kehidupan di kala pandemi dan pasca pandemi. Buat buah hati-buah hati merasa nyaman, jawab segala pertanyaan mereka dengan bagus, benar, dan detil, sehingga buah hati-buah hati autis merasa tak tertekan dengan orang tua dan sanggup menyesuaikan diri dengan kehidupan pandemi dan pasca pandemi.
Sebagai catatan, bila ada situasi sulit kerja golongan, guru semestinya menyusun golongan dengan jumlah member yang sedikit. Usahakan buah hati ASD diklasifikasikan dengan satu atau dua sahabat sepantaran yang dekat dengannya. Sehingga, saat bergaul dengan buah hati-buah hati lain di golongan baru, buah hati-buah hati ASD dapat penyesuaian diri lebih kencang tanpa merasa tertekan (Ransdell, 2020).
Sekiranya pihak sekolah hendak menyelenggarakan program pelajaran dengan mengintegrasikan metode belajar daring dan luring, karenanya ada pantasnya satu bulan sebelum sekolah dibuka, buah hati ASD diajak untuk tur ke sekolah mereka yang sekarang memakai undang-undang baru, adalah kewajiban mematuhi protokol kesehatan. Adapun tur sekolah untuk buah hati autis dijalankan secara rutin, disesuaikan pula dengan jadwal belajar mereka. Misal, pelajaran daring diniatkan dijalankan selama 3 kali per pekan, sementara pelajaran luring digelar selama 2 kali setiap pekan, karenanya sekolah seharusnya mengerjakan role play ini pada buah hati-buah hati ASD yang teregistrasi. Ini berlangsung dari masa pandemi sampai pasca pandemi, dan semestinya dijalankan secara tetap, biar buah hati-buah hati ASD terbiasa dengan pola pelajaran terintegrasi seperti ini.
Guru Nasehat Konseling (BK) malahan semestinya menyediakan formulir berisikan keresahan buah hati-buah hati ASD dikala baru kembali menimba ilmu. Kecuali itu, mengerjakan pencatatan dan evaluasi program pelajaran selama berlangsung. Hal ini bakal mempermudah dan mempercepat pelaksanaan penyesuaian diri buah hati autis dengan siklus pelajaran baru. Mengingat buah hati autis kesusahan mengekspresikan emosional mereka dan menulis di suatu media menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan situasi sulit ini (Thompson & Slyvia, 2020).
Kehidupan pasca pandemi tak cuma membahas seputar daya pikir akan kehidupan surgawi sebagaimana sebelum pandemi Covid-19. Membahas kehidupan pasca pandemi Covid-19, berarti semestinya menilik lebih jauh mengenai aspek kemanusiaan darinya, yang lebih tepatnya pada buah hati-buah hati ASD. Mengingat tujuan kehidupan pasca pandemi yakni untuk manusia, karenanya segala manusia semestinya dilibatkan tanpa terkecuali. Memungkiri hak buah hati-buah hati ASD sama saja mencela poin etis dan sopan santun dari kehidupan pasca pandemi.
Di masa yang akan datang, tepatnya di kehidupan pasca pandemi, buah hati ASD tak akan lagi kesusahan dalam menjalani kehidupan, lantaran tubuh mereka telah menyesuaikan diri dengan kehidupan pasca pandemi yang telah diprediksikan. Menimba dan berkegiatan dengan rasa tenteram, ternyata dari rutinitas yang cocok dengan keadaan buah hati-buah hati ASD. Ketertinggalan dalam pelajaran malahan bukan slot bet kecil lagi situasi sulit bagi mereka. Gejala-gejala ASD pada diri buah hati, apa malahan itu, entah autistic burnout, meltdown, atau shutdown, bisa dihindari sedini mungkin dan diminimalisir durasi dan pengaruhnya. Ketidakhadiran orang tua, sekolah, dan pemerintah yang sigap dan sedia dalam menolong buah hati-buah hati ASD, menjadi alam terbuka yang ramah dan inklusif terhadap buah hati-buah hati ASD.